BADAKPOS.COM, JAKARTA – Penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal di Indonesia terus menunjukkan keseriusan. Berbagai operasi penindakan berhasil mengungkap jaringan distribusi dan menyita jutaan batang rokok tanpa cukai yang merugikan negara.
Salah satu contohnya adalah keberhasilan Kantor Bea dan Cukai Semarang dalam “Operasi Gurita 2025” yang mengamankan 584 ribu batang rokok ilegal. Menurut Kepala Kantor Bea-Cukai Semarang, Bier Budy Kismulyanto, pada Selasa, 10 Juni 2025, timnya mencegat sebuah kendaraan di gerbang tol Banyumanik, Semarang. Rokok ilegal senilai sekitar Rp 867 juta tersebut ditemukan tersembunyi di balik tumpukan sampah plastik dan padi. Akibat penyelundupan ini, potensi kerugian negara ditaksir mencapai lebih dari Rp 565 juta.
Tindakan serupa juga terjadi di Jawa Timur, di mana pada Sabtu, 7 Juni 2025, patroli jalan raya (PJR) Polda Jatim terlibat aksi kejar-kejaran dengan mobil pengangkut rokok ilegal di Jembatan Suramadu. Menurut Ajun Komisaris Darwoyo, Kepala Unit PJR Jawa Timur VIII, petugas terpaksa menghentikan kendaraan tersebut dengan menabrakannya untuk bisa melakukan pemeriksaan dan menemukan tumpukan rokok tanpa pita cukai.
Pengungkapan dalam skala yang lebih masif terjadi pada awal tahun. Pada Januari 2025, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menyita lebih dari 511 ribu bungkus rokok ilegal dari sebuah gudang di Kota Serang, Banten. Brigadir Jenderal Helfi Assegaf, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim, menyatakan pada Februari 2025 bahwa nilai barang sitaan tersebut mencapai lebih dari Rp 13 miliar, dengan total kerugian negara yang diperkirakan sebesar Rp 26,280 miliar.
Tren Kenaikan dan Faktor Pendorong
Lembaga riset Indodata Research Center (IRC) menyoroti adanya tren peningkatan konsumsi rokok ilegal yang signifikan. Direktur Eksekutif IRC, Danis Saputra Wahidin, mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, konsumsi rokok ilegal naik sebesar 46,95% dibandingkan tahun sebelumnya, yang berpotensi menyebabkan kerugian negara hingga Rp 97,81 triliun.
Dari lima kategori rokok ilegal yang diidentifikasi Bea-Cukai (polos/tanpa pita, pita cukai palsu, pita cukai bekas, salah peruntukan, dan salah personalisasi), jenis rokok polos menjadi yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, mencapai 95,44%.
Firre An Suprapto, seorang dosen kebijakan publik dari Universitas Negeri Surabaya, mengidentifikasi tiga faktor utama di balik maraknya fenomena ini:
- Permintaan Tinggi: Kenaikan harga rokok legal mendorong konsumen, terutama dari kalangan berpenghasilan rendah dan perokok berat, untuk beralih ke rokok ilegal yang jauh lebih murah.
- Pencegahan yang Lemah: Upaya penegakan hukum dinilai masih berfokus pada penindakan di hilir (distributor) dan belum menyentuh akar masalah di hulu, yaitu dengan menutup pabrik-pabrik produsen rokok ilegal.
- Kesadaran Publik yang Rendah: Kurangnya edukasi mengenai bahaya rokok secara umum dan rokok ilegal secara khusus membuat permintaan tetap tinggi. Firre menekankan bahwa penindakan hukum hanya bersifat reaktif dan tidak akan efektif tanpa adanya upaya pencegahan yang komprehensif.
Dampak Kesehatan dan Rekomendasi Kebijakan
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), dalam risetnya yang dirilis April 2025, menegaskan bahwa peredaran rokok ilegal memperburuk masalah kesehatan masyarakat dan menghambat target pemerintah untuk menurunkan prevalensi merokok, yang menurut Survei Kesehatan Indonesia 2023 masih berada di angka 27,3%.
Riset CISDI di enam kota besar (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar) menemukan rata-rata prevalensi rokok ilegal mencapai 10,77%. Angka tertinggi ditemukan di Makassar (21,48%) dan Surabaya (20,61%), yang lokasinya strategis sebagai pusat distribusi dan dekat dengan area produsen. Studi ini juga mengungkap bahwa 87,73% rokok ilegal tidak memiliki merek terdaftar dan banyak yang diproduksi oleh usaha kecil tak berizin akibat longgarnya regulasi kepemilikan mesin pelinting rokok.
Berdasarkan temuannya, CISDI mengeluarkan empat rekomendasi kebijakan utama:
- Memperkuat Pengawasan: Meningkatkan pengawasan di titik-titik vital seperti pelabuhan besar (khususnya di Surabaya dan Makassar) serta Kawasan Perdagangan Bebas (FTZ) yang berpotensi menjadi jalur masuk barang ilegal.
- Mengawasi Produsen Kecil: Mengetatkan pengawasan terhadap produsen rokok skala mikro dan kecil, menutup yang tidak berizin, serta meregulasi kepemilikan mesin pelinting.
- Menerapkan Sistem Pelacakan (Track and Trace): Mengadopsi sistem yang memungkinkan pemantauan pergerakan produk tembakau di seluruh rantai pasok untuk memastikan kepatuhan pajak dan mencegah produk ilegal mencapai konsumen.
- Meratifikasi Konvensi Internasional: Mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dari WHO beserta Protokol untuk Memberantas Perdagangan Ilegal Produk Tembakau. Langkah ini penting untuk menyelaraskan kebijakan nasional dengan standar global, mengamankan rantai pasok, dan membuka peluang bantuan teknis internasional.
Tinggalkan Balasan